BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia terletak pada daerah tropis dan merupakan
kesatuan wilayah laut yang ditebari pulau-pulau atau kepulauan. Menurut
Departemen Dalam Negeri Indonesia pulau di indonesia berjumlah 17.504 buah di antaranya telah mempunyai nama,
sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Panjang garis pantai Indonesia yaitu 95.181 km merupakan garis
pantai terpanjang kedua setelah
Canada yang panjang garis pantainya 243.792 km. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah pulau yang sangat banyak.
Dalam kaitannya Indonesia sebagai negara kepulauan Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS, 1982) dengan melahirkan UU nomor 17 tahun
1985 dan UU nomor 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki
keunikan ekosistem dan merupakan sumber daya potensial. Maka sangat dibutuhkan kepedulian terhadap wilayah pesisir khususnya dibidang
lingkungan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir. Namun dalam
pengelolaan lingkungan pantai pemerintah sangat jarang memperhatikan aspek
morfologinya, padahal itu merupakan hal yang mendasar harus dilakukan karena
morfologi membahas bentuk lahan, proses
– proses yang mempengaruhi genesa, serta
hubungannya dengan lingkungan dalam ruang dan waktu, dimana
manusia melangsungkan proses kehidupannya.
Pantai Rewata'a merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Barat. Menurut Rab Sukamto (1973) bentuk morfologi wilayah tersebut dipengaruhi oleh adanya jalur sesar naik yang arah
sesarnya adalah utara – selatan ditandai dengan banyaknya sungai–sungai yang
arah alirannya ke selatan sedangkan
bagian baratnya dibatasi oleh terjadinya rifting
karena
adanya penipisan kerak
benua yang kemudian mengakibatkan sistem blok di Selat Makassar.
Di sebelah barat Pantai
Rewata’a terdapat Palung
Makassar dengan kedalaman mencapai 2.300 m. Akibat mekarnya lantai dasar laut Palung Makassar menyebabkan terjadinya zona subduksi kecil
yang menunjang ke arah timur (Katili, 1977) . Sehingga ditemukan
beberapa blok antara Teluk Mamuju dan Mandar
terangkat dan blok pegunungan yang
bentuknya menggulung–gulung. Bagian tengahnya
didapatkan adanya suatu terban memanjang utara-selatan yang disebut terban
Walanae. Terban ini dibatasi oleh dua sesar normal yang berarah utara - selatan,
kemudian terban ini terisi oleh sedimen vulkanik kuarter. Akibat dari
adanya tenaga tektonik yang membentuk Pantai Rewata'a maka dalam
perencanaan dan pengembangan pengelolaan pantai tersebut perlu adanya data/informasi
dasar dan yang pertama sebelum pengelolaannya terutama pada aspek fisik yaitu
ragam bentuklahan yang terdapat di pantai tersebut. Dengan menganalisis bentuklahan yang ada maka
selanjutnya dapat membantu dalam melakukan analisis dan klasifikasi medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan pokok yang akan di rumuskan,
yakni:
1.
Bagaimana
karakteristik morfologi Pantai Rewata’a?
2.
Bentuklahan apa saja yang terdapat di Pantai Rewata’a?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian
yang ingin dicapai dari penelitian dan penulisan karya ini, adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk
mendeskripsikan karakteristik morfologi Pantai Rewata’a.
2.
Untuk
mendeskripsikan bentuklahan yang ada di Pantai Rewata’a.
D. Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini pada akhirnya diharapkan dapat memberikan manfaat, secara
terperinci antara lain sebagai berikut:
1.
Bagi
penulis/peneliti, untuk membuktikan penyesuaian antara teori (ide) dengan
realitas (kenyataan) dan melatih untuk berpikir yang rasional dan analisis
secara sistematis dalam memecahkan masalah yang muncul dengan menggunakan
metode ilmiah.
2.
Untuk
masyarakat setempat, sebagai bahan informasi bagi masyarakat setempat mengenai morfologi
pantai yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan.
3.
Untuk
pemerintah setempat, menjadi bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam
penentuan arah kebijakan dalam mengelolah sumber daya alam.
4.
Bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan kajian dan pembanding terhadap
studi tentang morfologi pantai sebelumnya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Pengertian Geomorfologi
Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang bentuklahan
yang mengukir permukaan bumi baik di atas maupun di bawah permukaan air laut,
menekankan cara pembentukannya serta konteks kelingkungannya. Geomorfologi selalu mempertimbangkan
proses dan material, karena keduanya penting dalam determinasi morfologi suatu
daerah. Dari beberapa definisi ahli diantaranya Lobeck (1939), Katili (1959),
dan Van Zuidam (1978) dapat ditarik kesimpulan bahwa geomorfologi adalah
suatu ilmu yang mempelajari karakteristik bentuklahan dengan segala proses dan
material yang terjadi di permukaan bumi.
B. Konsep Dasar Geomorfologi
Bentuklahan merupakan bentukan pada permukaan bumi sebagai hasil dari
perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologi yang beroperasi
di permukaan bumi. Proses geomorfologi adalah
semua perubahan fisik maupun kimia yang
terjadi di permukaan bumi oleh tenaga-tenaga geomorfologi. Tenaga geomorfologi
adalah medium alami yang mampu merusak dan mengangkut partikel bumi dari suatu
tempat ketempat lain.
Menurut Verstappen (1983): 4 subjek utama geomorfologi adalah :
1.
Static geomorphology, menekankan pada kajian bentuklahan aktual.
2.
Dynamic geomorphology, menekankan pada berbagai proses yang terjadi dalam bentuklahan dan perubahan dalam
jangka pendek.
3.
Genetic geomorphology, menekankan pada perkembangan jangka panjang atau
evolusi bentuklahan.
4.
Environmental geomorphology, yang menekankan pada ekologi.
Bentanglahan yaitu kaitan antara
geomorfologi dengan aspek kajian lainnya, atau hubungan antar parameter penyusun bentanglahan. Menurut Van Zuidam (1978) dan Cancelado (1985) Objek utama kajian geomorfologi adalah
bentuklahan. Morfologi, yang
mengkaji masalah bentuk atau seluk-beluk permukaan bumi, baik morfografi
(desktiptif), maupun morfometri (kuantitatif atau ukuran); morfoproses, yang mengkaji berbagai proses
geomorfologis yang mengakibatkan perubahan bentuklahan (morfogenesis), baik
oleh tenaga endogen maupun eksogen. Morfokronologi, yang mengkaji masalah
evolusi pertumbuhan bentuklahan, urutan, dan umur pembentukannya, kaitannya
dengan proses yang bekerja padanya. morfoaransemen, yang mengkaji hubungan geomorfologi dengan lingkungannya
(hubungan bentuklahan dengan unsur bentanglahan lainnya, seperti: batuan,
tanah, air, vegetasi, dan penggunaan lahan).
C.
Geomorfologi Pantai
Berbicara mengenai pantai, kita
dihadapkan pada beberapa istilah seperti pesisir, pantai, dan beach yang terkadang pengertian dari
istilah-istilah tersebut sering disamakan, padahal satu sama lain mempunyai
pengertian yang berbeda. Pesisir merupakan daerah yang sejalur dengan tempat
pertemuan daratan dengan dengan laut mulai dari batas muka air laut pada waktu surut
terendah menuju ke arah darat sampai batas tertinggi yang mendapat pengaruh
gelombang pada waktu badai. Hal ini sejalan dengan hasil rapat koordinasi
BAKOSURTANAL (1990) dijelaskan bahwa batas wilayah pesisir arah ke darat
tersebut ditentukan oleh:
a.
Pengaruh
sifat-sifat fisik air alut, yang ditentukan berdasarkan seberapa jauh Pengaruh
pasang air laut, seberapa jauh flora yang suka akan air akibat water loving
vegetation dan seberapa jauh pengaruh air laut ke dalam air tanah.
b.
Pengaruh
kegiatan bahari (sosial), seberapa jauh konsentrasi ekonomi bahari (desa
nelayan)
Gambar
2.1 Terminologi bentukan pantai (Snead,
1982 dalam Suprapto, 1997)
|
Dari gambar di atas pengertian pantai adalah
merupakan wilayah yang ada diantara pantai dan pesisir. Dengan demikian jelas
bahwa mengenai garis pantai dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Fore shore
adalah bagian pantai pulai dari muka air laut terendah sampai muka air laut
pasang tertinggi.
b.
Back shore
adalah merupakan bagian dari pantai, mulai dari muka air laut tertinggi sampai
pada batas wilayah pesisir.
c.
Offshore adalah merupakan daerah yang meluas dari
titik pasang surut terendah ke arah laut.
Gambar 2.2 Karakteristik mintakat pantai, proses profil, sedimen, dan
sortasi energi (Snead,
1982 dalam Suprapto, 1997)
|
Kemudian
mengenai karakteristik mintakat pantai, proses profil, sedimen, dan sortasi
energi dapat di sajikan dalam gambar 2.2. Berdasarkan gambar 2.2 di atas, maka
jelaslah bahwa masing-masing zona (mintakat) tertentu mempunyai corak dan
karakter sendiri dalam hal proses yang berlaku, kekuatan, jenis meterialnya
sampai kepada tipe hempasan yang terjadi. Dengan demikian dari gambar tersebut
dapat dilihat tentang adanya pantai berpasir dengan pembagian zona dinamikanya.
Masing-masing zona dicirikan oleh ukuran butir material, aktivitas yang dominan,
pemilahan, dan energi yang ditimbulkan.
D.
Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Pantai
1.
Gelombang,
arus, dan pasang yang berlaku sebagai faktor pengikis, pengangkut dan pengendap.
Gelombang merupakan pergerakan air yang naik turun dan tidak mengalami pergerakan
baik maju maupun mundur. Angin merupakan faktor yang penting dalam munculnya
gelombang, yaitu terutama oleh gesekan dan tekanan. Makin kencang angin bertiup
gelombang yang ditimbulkan semakin besar,
sehingga gerakan air laut berupa gelombang tersebut dapat mempengaruhi
perkembangan pantai. Gelombang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian punggung
gelombang dan lembah gelombang. Dalam membicarakan tentang gelombang ditemukan
beberapa istilah, yaitu panjang gelombang adalah jarak horisontal antar puncak
gelombang, tinggi gelombang adalah merupakan jarak vertikal antara keduanya, periode
gelombang merupakan waktu yang diperlukan untuk dua punggung gelombang yang berurutan
untuk melalui sebuah titik tertentu, kecepatan gelombang adalah kecepatan
bergeraknnya gelombang dalam satuan waktu.
2.
Sifat
bagian daratan yang mendapat pengaruh proses-proses marin. Jadi apakah berupa
dataran rendah, curam, landai, dan bagaimana sifat batuannya.
3.
Perubahan
relatif dari ketinggian muka air laut. Permukaan air laut ketinggiannya senantiasa
berubah-ubah. Hal ini mungkin berlaku lokal atau bisa berlaku pula untuk
seluruh pantai di muka bumi. Bersifat lokal itu dapat terjadi sebagai akibat dari
pengaruh pengangkatan atau penurunan daratan yang hanya meliputi daerah yang
sempit, sedangkan perubahan muka air laut yang berlaku bagi seluruh permukaan
bumi dapat disebabkan oleh adanya dua hal, yaitu:
a.
Pembekuan/pencairan
es secara besar-besaran di daerah kutub, volume air berkurang muka laut turun
b.
Daya tampung
laut yang berubah, misalnya karena terjadi penurunan atau pengangkatan dasar
laut yang luas, sehingga permukaan air laut berubah secara keseluruhan.
4.
Faktor
alami yang lain, seperti tumbuhnya binatang karang di daerah pantai, vulkanisme,
dan lain - lain.
5.
Pengaruh manusia,
misalnya pembuatan pelabuhan, reklamasi pantai, pengeringan rawa pantai, pembuatan
jeti di pantai, dan sebagainya yang kesemuanya dapat mempengaruhi perkembangan pantai.
E.
Proses
di Lingkungan Pantai
1.
Proses
destruksional
a.
Pelapukan
garis pantai
Zona pantai mungkin tunduk kepada proses–proses pelapukan
kimia dan fisika sama seperti yang terjadi di daratan, tetapi kehadiran air
laut dan siklus pembasahan dan pengeringan merupakan instrument dalam berbagai
macam proses pelapukan yang secara bersama–sama dipertimbangkan secara tepat
sebagai pelapukan lapisan air. Zona yang terpengaruh membentang dari batas air
rendah sampai batas terjauh yang dicapai oleh gelombang dan percikan pada waktu
pasang tinggi. Oleh karena itu luas daerah
ini sebagian besar dikontrol oleh tinggi rendahnya pasang surut, tetapi faktor
tipe pasang surut dan meteorologi juga penting karena mempunyai pengaruh,
secara berturut–turut tersedia waktu untuk pengeringan diantara pasang dan laju
penguapan. Waktu yang paling agresif untuk pelapukan lapisan berair terdapat di
sekitar pantai yang dicirikan oleh laju penguapan yang tinggi dan tercampur
atau pasang diurnal.
Proses yang paling penting dalam pelapukan garis pantai yaitu
pelapukan garam, meskipun keefektifannya tergantung pada kemampuan pada
kemampuan batuan garis pantai untuk menyerap air laut dan percikan. Pelapukan
kimia juga berperan, sifat reaksi kimia dikontrol oleh mineralogi batuan dan
lajunya terpengaruh oleh tempratur dan perbedaan faktor lingkungan mikro
seperti aktivitas organik dan pH sekitar pantai. Pelarutan merupakan proses
penting yang terlihat jelas pada batuan gamping dan batuan kalsium karbonat
yang tersementasi, meskipun ada kesulitan dalam menjelaskan bagaimana hal ini
terjadi karena air laut pada umumnya jenuh atau sangat jenuh dengan CaCo3
Di daerah lintang tinggi pelapukannya mudah karena embun
beku (frost) merupakan proses
pelapukan garis pantai yang sangat potensial karena frekuensi dari pembahasan
permukaan batuan gundul di zona antar pasang surut (intertidal zone). Air laut sendiri tidak terlalu efektif karena
pada proses pembekuan garam yang terkandung menjadi terpisah dan menghasilkan
es lunak sehingga tidak mampu meneruskan tekanan tinggi pada batuan. Pelapukan
embun beku nampak lebih efektif dimana tersedia air tawar dari tepi salju yang
meleleh.
b.
Erosi
pantai
Gelombang merupakan tenaga
erosi yang paling penting di sepanjang sebagian besar pantai, tetapi
pengaruhnya berubah-ubah dengan sifat-sifat dan energi gelombang dan dengan
sifat material yang terbuka terhadap serangan gelombang. Keefektifan abrasi
sangat bergantung pada energi gelombang dan pada adanya material yang sesuai
seperti koral di sepanjang pantai. Batuan bongkah (boulders) hanya dapat dipindahkan oleh badai yang paling kuat,
sebaliknya bongkah-bongkah kecil (small
boulders) dan koral dapat dipindahkan jauh lebih sering oleh gelombang
dengan tenaga sedang.
Berbagai macam organisme
pantai, termasuk beberapa moluska,
pelubang bunga karang dan sea urchins dapat
menghancurkan batuan dengan cara mengebor masuk ke dalam batuan tersebut.
Keefektifan menghancurkan dipengaruhi oleh tipe batuan, umumnya batuan sedimen
jauh lebih mudah dihancurkan dari pada batuan beku. Erosi biologis lebih banyak
terjadi di sepanjang pantai dengan ciri-ciri tenaga gelombangnya rendah karena
di lingkungan ini abrasi dan quarrying bekerja dengan intensitas rendah
atau sedang.
2.
Proses
konstruksional
a.
Pergerakan
sedimen dan pengendapan
Dalam mempelajari
pergerakan dan pengendapan sedimen sepanjang pantai penting untuk mengenali
sumber utama sedimen model pengangkutan, dan zona dimana terkumpul atau
dijauhkan dari zona litoral. Apabila kita mengabaikan pergerakan sedimen
sejajar pantai, maka ada tiga sumber utama sedimen yaitu :
1)
Bentuklahan
pantai, termasuk cliff dan gisik
2)
Area
lahan kearah pedalaman (daratan) dari zone litoral
3)
Zone
lepas pantai dan di luar zona lepas pantai
Erosi dari bentuklahan
pantai, khususnya cliff dapat secara
terbatas memberikan sejumlah sedimen dalam lingkungan dengan gelombang
bertenaga tinggi (terutama dimana endepan yang tidak terkonsolidasi tererosi),
tetapi hal ini umumnya bukan merupakan sumber yang penting di daerah tropis
dimana lingkungan dengan gelombang bertenaga rendah merupakan hal yang umum.
Hal ini didukung dengan relatif langkahnya di daerah tropis pantai yang
terbentuk dari batuan dasar. Bahkan dimana cliff
baru terbentuk dari lapisan yang
terkonsolidasi dengan baik secara lambat menyusut dan memberikan sedikit
sedimen. Sebaliknya kenampakan konstruksionl yang lebihada seperti gumuk dan
gisik fosil lebih rentan terhadap aksi gelombang dan mobilisasi sedimen.
Angkutan di pantai dapat
kembali ke zona litoral yang terlebih dulu mengerosi material gisik atau
endepan fluvial yang pada awalnya tersimpan baik di lepas pantai. Terutama
sekali gelombang badai yang sangat kuat, gelombang badai dan gelombang seismic kadang-kadang dapat membawa
masuk sedimen dari luar zona lepas pantai, tetapi kebanyakan sekarang ini
gerakan sedimen di pantai timbul dari naiknya permukaan air laut pasca glasial.
Walaupun sedimen secara
terus menerus bergerak kurang lebih tegak lurus kearah garis pantai atau
menjauhi garis pantai oleh aktivitas pasang surut atau gelombang, jaringan
perpindahan yang utama dari sedimen di sepanjang sebagian besar pantai-pantai
adalah sejajar dengan pantai akibat pengaruh arus sepanjang tepi laut. Pergerakan semacam ini disebut dengan
apungan sepanjang tepi laut, dan laju
apungan sepanjang tepi laut tergantung pada tenaga gelombang dan besarnya sudut
arah gelombang terhadap pantai. Pengaruh dari apungan sepanjang tepi laut
digambarkan dengan jelas oleh akumulasi pasir di sepanjang gisik dan dalam
kenyataannya memberi petunjuk untuk mengukur laju pergerakan sedimen di
sepanjang pantai.
Pengangkutan sedimen sepanjang tepi laut
terjadi di bawah zona pemecah gelombang dimana kecuraman gelombang tinggi, atau
di bawah apungan gisik dimana kecuraman gelombang rendah. Apungan gisik
meliputi gerakan sedimen yang miring terhadap gisik sebagai akibat dari
sudut gelombang.
Gambar 2.3. Cara
gelombang menghayutkan material pantai (Hallaf, 2006)
|
b.
Aktivitas
Organik
Bermacam-macam organisme
secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi pembentukan beberapa
bentuklahan pantai. Contoh yang paling jelas dari pembentukan secara langsung
bentuklahan yaitu oleh organisme karang dan organisme yang mengeluarkan
karbonat lainnya yang membentuk terumbu karang karena untuk pertumbuhannya
memerlukan temperatur air laut yang minimum, maka karang terpusat di daerah
tropik, seperti bermacam-macam algae calcareous yang membentuk carbonate encrustation di sepanjang pantai
tropik.
Tanaman yang dapat
beradaptasi terhadap air asin membentuk komunitas rawa garam di sepanjang zona
antar pasang surut yang terlindung pantai berlumpur. Mangrove tropik merupakan
unsur penting dalam vegetasi pantai dan bersama-sama dengan tanaman halophytic (tahan terhadap garam)
lainnya. Selain itu halophytic berperan secara geomorfik dengan menjebak sedimen dalam
sistem perakaran yang membantu proses pengendapan.
F.
Erosi Marin
Selain
gelombang yang berpengaruh terhadap erosi marin, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
lain;
1.
Jenis dan
daya tahan batuan.
2.
Struktur
batuan.
3.
Stabilitas
pantai.
4.
Terbuka/tidaknya
pantai terhadap pengaruh gelombang.
5.
Dalamnya
laut di pantai.
6.
Banyak
sedikitnya dan besar kecilnya material pengikis yang diangkut oleh gelombang
Erosi
marin meliputi proses-proses korosi (abrasi), korosi dan atrisi. Korosi atau
abrasi memegang peranan penting apabila air banyak mengandung puing-puing dan
bongkah-bongkah yang berfungsi sebagai alat pengikis pada saat dibawa gelombang
dan menghantam tebing atau dasar pantai. Tanpa material yang diangkut pun
gelombang mampu memecahkan/mengikis batuan di tebing pantai dengan kekuatan
gelombang itu sendiri. Oleh karena itu banyak sekali pantai-pantai yang
dilindungi dengan beton-beton pemecah gelombang agar tidak sampai ke
tebing/tepi pantai. Kekuatan gelombang itu diperbesar pula apabila batuan
pembentuk pantai mempunyai celah-celah. Udara dalam celah itu jika mendapat
tekanan dari gelombang, maka udara berfungsi seolah-olah sebagai pasak atau
baji yang ditekan pada celah batuan tersebut. Sedangkan bila air mundur, udara
dalam celah itu memuai dengan tiba - tiba, sambil menimbulkan desakan ke samping.
Dengan demikian, erosi marin oleh gelombang air laut diperkuat, ditambah lagi
dengan kemampuan air laut dalam melarutkan batuan.
Dalam
hal ini gelombang tentunya mempunyai pengaruh yang besar dalam proses
pengikisan. Menurut Johnson dalam Suprapto (1997) menyatakan bahwa pengaruh
gelombang tipe oskilator dapat mencapai kedalaman 200 meter. Proses pelapukan
yang terjadi di daratan, juga terjadi di mintakat pantai, tetapi terdapatnya
air laut dan siklus pembasahan dan pengeringan akibat pasang surut yang menyebabkan
adanya perbedaan. Perbedaan yang terjadi karena pembasahan dan pengeringan akibat
siklus pasang surut menimbulkan variasi pelapukan di pantai secara bersamaan
yang disebut dengan water layer weathering (Suprapto, 1997). Daerah yang
agresif terkena proses pelapukan lapisan air adalah pelapukan garam yang
evaporasinya kuat dan yang terpengaruh oleh pasang surut harian.
Proses
pelapukan yang terjadi di pantai adalah pelapukan garam. Pelapukan ini juga termasuk
pelapukan kimiawi serta pelapukan mekanik. Intensitas dari pelapukan di pantai
tergantung pada batuan yang ada di pantai, iklim, dan letaknya. Proses
pelapukan di mintakat pantai dapat merubah bentuklahan bersamaan dengan
geomorfologi lainnya. Perlu diketahui bahwa proses geomorfik yang terjadi di
suatu daerah umumnya sangat kompleks. Berdasarkan penjelasan yang telah
dikemukakan di atas, maka proses bentuklahan pantai selalu mengalami perubahan
sebagai akibat bekerjanya proses geomorfik. Secara garis besar proses geomorfik
yang berkerja pada mintakat pantai, dapat dibedakan menjadi proses destruksional
yang cenderung merusak dan proses konstruksional yang cenderung membentuk
bentuklahan baru. Kedua proses tersebut kesemuanya berpengaruh terhadap
kerekayasaan pantai.
Daerah pesisir merupakan daerah pantai dan sekitarnya
yang masih terkena pengaruh langsung dari aktivitas marine. Berdasarkan
morfologinya daerah pantai di kelompokkan ke
dalam 4 macam, yaitu: pantai bertebing terjal (cliff); pantai bergisik; pantai berawa payau; Pantai berterumbu
karang.
1.
Pantai bertebing terjal
Pantai
bertebing terjal merupakan bentuklahan hasil bentukan erosi marin yang paling
banyak terdapat bentukan dan roman cliff
berbeda satu dengan yang lainnya, karena dipengaruhi oleh struktur batuan, dan
jenis batuan serta sifat batuan. cliff
pada batuan beku akan lain dengan cliff
pada batuan sedimen. Pelapisan batuan sedimen misalnya akan berbeda dengan
pelapisan yang miring dan pelapisan mendatar. Sebatas daerah di atas ombak,
umumnya tertutup oleh vegetasi, sedangkan bagian bawahnya umumnya berupa
singkapan batuan. Aktivitas pasang surut dan gelombang mengikis bagian tebing,
sehingga membentuk bekas-bekas abrasi seperti:
a.
Tebing (cliff)
b.
Tebing
bergantung (notch)
c.
Rataan
gelombang zona pasang surut
Pada
daerah bertebing terjal, pantai biasanya berbatu berkelok-kelok dengan banyak
terdapat gerak massa batuan. Proses ini mnyebabkan tebing bergerak mundur
khususnya pada pantai yang proses abrasinya aktif. Apabila batuan penyusun
daerah ini berupa batuan gamping atau batuan lain yang banyak memiliki retakan
air dari daerah pedalaman mengalir melalui sistem retakan tersebut dan muncul
di daerah pesisir dan daerah pantai.
Tebing
bergantung (nocth) juga merupakan cliff,
hanya saja pada bagian tebing yang dekat dengan permukaan air laut melengkung
ke arah darat, sehingga pada tebing tersebut terdapat relung. Relung terjadi
sebagai akibat dari benturan gelombang yang secara terus menerus ke dinding
tebing. Manakala atap relung tersebut tidak kuat, maka tebing tersebut akan
runtuh dan tebing menjadi rata kembali dan di depan pantai terdapat banyak
material berupa blok-blok atau bongkah-bongkah dengan berbagai ukuran.
Head
land
|
Gambar 2.4 Pantai cliff dan pembagian zona dengan modifikasi (Bird, 2008)
|
Gambar 2.5 Berbagai tipe cliff
dan pembentukannya (Selbi, 1985 dalam Suprapto, 1997)
|
2.
Pantai bergisik
Endapan pasir yang berada di daerah pantai pada
umumnya memiliki lereng landai. Kebanyakan pasirnya berasal dari daerah
pedalaman yang terangkut oleh sungai kemudian terbawa arus laut sepanjang
pantai, dan selanjutnya dihempaskan gelombang ke darat. Oleh karena material
asalnya dari sungai, maka gisik atau pantai berpasir dapat dijumpai disekitar
muara sungai. Sungai dengan tenaga pengangkutnya maka ukuran butir akan lebih
kasar di dekat muara sungai dan berangsur–angsur semakin halus, semakin
menjauhi muara. Pasir yang berasal dari bahan vulkanik pada umumnya berwarna
cerah, tetapi tidak banyak dijumpai di Indonesia
Daerah bagain belakang dari pesisir bergisik kebanyakan
memiliki beting (ridges = gundukan
memanjang) yang umumnya terdiri dari beberapa jalur. Ciri ini menandakan daerah
pantai yang tumbuh dan garis pantainya relatif lurus. Oleh karena material
penyusunnya terutama pasir, daerah pasir bergisik bersifat porus, tidak subur
dan kebanyakan berair asin, hanya saja jenis tumbuhan tertentu saja yang dapat
tumbuh pada lingkungan semacam ini yaitu jenis Casuariana, Pandan, Calophyllum,
dan Barringtonia. Jenis tumbuhan ini
berakar dan tahan kering.
3.
Pantai
berawa payau
Rawa
payau juga mencirikan daerah pantai yang tumbuh atau akresi. Proses sedimentasi
merupakan penyebab bertambah majunya pantai ke arah laut. Material penyusun
umumnya berbutir halus dan medan ini berkembang pada lokasi yang gelombangnya
kecil atau terhalang serta dengan kondisi air laut yang relatif dangkal. Mean
ini sangat datar tergenang pada saat air laut pasang. Karena airnya payau atau
asin daerah ini terbatas kemungkinan pengembangannya. Hanya jenis–jenis
tumbuhan dan hewan tertentu yang dapat hidup. Selain itu material penyusunnya
terutama dari bahan halus, lembek, dan drainase jelek daya dukung tanah
terhadap beban juga rendah. Drainase jelek menjadikan pembuangan lembah tidak
lancar dan terdapat gunung dimana–mana.
Rawa
payau ini pada umumnya ditumbuhi oleh tumbuhan rawa payau seperti bakau, nipah,
dan tumbuh-tumbuhan rawa lainnya yang hidup di air payau. Tumbuhan bakau ini
dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang dan sebagai penghalang pengikisan di
pantai, sebaliknya sedimentasi bisa terjadi. Oleh karena itu pantai mengalami
akresi. Peranan bakau di dalam merangsang pertumbuhan pantai terbukti jelas
jika bakaunya hilang/mati, ditebang habis, maka yang terjadi adalah sebaliknya
yaitu pantai mengalami erosi.
Pada
pantai yang mengalami akresi, umumnya terdapat urutan tumbuhaan yang ada yaitu bakau yang paling
depan, dibelakangnya nipah, tumbuhan rawa air tawar/lahan basah. Batas teratas
dari bakau adalah setinggi permukaan air pasang maksimum. Permukaan air pasang
tertinggi terjadi pada saat pasang purnama (pada saat bulan purnama) dan pasang
perbani (pada saat bulan gelap/bulan mati). Pasang purnama terjadi pada saat
bulan purnama, sedangkan pasang perbani adalah pada saat habis bulan. Kombinasi
gaya tarik bulan dan matahari menyebabkan proses ini.
4.
Pantai berterumbuh
karang
Terumbu
karang (coral reef) terbentuk oleh
aktivitas binatang karang dan jasad renik lainnya. Proses ini terjadi pada
areal-areal yang cukup luas. Bird (1970) dalam Suprapto (1997) pada intinya menyatakan bahwa binatang
karang dapat hidup dengan beberapa persyaratan kondisi yaitu:
a.
Air jernih
b.
Suhu tidak
lebih dari 18o C
c.
Kadar
garam antara 27 – 38 ppm
d.
Arus laut
tidak deras
Dengan demikian di sebagian laut di Indonesia karang
dapat tumbuh dengan baik kecuali di laut dangkal yang berlumpur seperti dekat
muara sungai (kadar garam rendah dan berlumpur). Selain itu proses tektonik
sering berpengaruh pula terhadap pertumbuhan terumbuh karang. Cincin karang (atol) adalah merupakan hasil kombinasi
proses aktivitas binatang karang dengan proses tektonik yang berupa subsidence (tanah terban).
Terumbu
karang yang banyak muncul ke permukaan banyak terdapat di kepulauan Indonesia.
Pada pulau-pulau karang yang terangkat umumnya banyak terdapat endapan
puing-puing dan pasir koral di lepas pantainya. Ukuran butiran puing dan pasir
lebih kasar ke arah datanganya ombak/gelombang jika gelombang tanpa penghalang.
Bagian ini kadang–kadang beselang seling dengan lagun yang dangkal yang kadang
ditumbuhi bakau.
F.
Bentuk
lahan pantai
1.
Bentuk
– bentuk destruksional
a.
Sea Cave dan Blow Hole
Perbedaan kekerasan
batuan, ada batuan yang lembut dan yang lainnya keras, memberi perbedaan dalam
kecepatan pengikisan. Bagian-bagian batuan cadas di mana terdapat celah dan
rekahan-rekahan seperti jointed, akan
lebih cepat terkikis daripada bagian yang tanpa celah atau rekahan.
Sekali gelombang sempat
membuat suatu lubang, maka kekuatan atau daya tekanan dari benturan gelombang
akan semakin intensif dan efisien terhadap lubang tersebut. Suatu lubang yang
berbentuk corong yang menganga ke arah datangnya gelombang, akan memberi
peluang terfokusnya tekanan gelombang untuk memperhebat daya benturannya.
Kondisi yang demikian akan lebih dipertajam daya kikisnya bila di dalam
gelombang itu termuat butiran-butiran material keras. Makin luas mulut suatu
gua di dinding pantai, makin banyak pula massa air gelombang yang membentur ke
dalamnya. Tekanan benturan dan pukulan gelombang semacam ini di saat badai
mampu menggetarkan (microseismic) dan
meremukkan kompleks batuan cadas di sekitarnya. Lambat laun muncratan air
menembus hingga ke permukaan tanah di atasnya (headland) dan membentuk blow
hole.
Dua macam lubang besar ini
(cave dan blow hole) diberi nama sesuai dengan posisinya. Cave atau gua laut karena posisinya yang
horizontal; sedangkan blow hole
adalah lubang yang tegak lurus, seperti dolina
di daerah karst. Bentukan blow hole
dipercepat oleh benturan langsung gelombang, juga oleh semprotan (muncratan),
getaran, pelapukan dari atas dan gravitasi yang menjatuhkan batuan di atasnya.
Demikian seterusnya hingga kedua lubang tersebut bukan saja bersambungan dalam
bentuk terowongan, tetapi atapnya pun runtuh seluruhnya, disebut inlet
(terusan).
b.
Sea Cave, Arch dan Stack
Demikianlah proses suatu
gua laut terbentuk hingga menembus ke dinding pantai sebelahnya pada suatu
tanjung. Terowongan gua dengan sambungan semacam jembatan alam di atasnya pada
ujung tanjung disebut arch.
Bila kelak jembatan alam (arch) ini runtuh atau putus, maka bagian
ujung tanjung yang ditinggalkan, dengan bentuk pilar raksasa (tugu) disebut stack.
Gambar 2.6. Proses Terbentuknya
Cave, Arch, dan Stack; dengan kawasan endapannya (beach) dalam teluk (Hallaf, 2006)
|
STACK
|
HEADLAND
|
WAVE-CUT
PLATFORM
|
NOTCH
|
STUMP
|
Gambar 2.7 Foto Headland dan Stack (Foto: Douglas
Baglin Pty. Ltd. dalam P.W. Hocking, 1976 dalam Hallaf, 2006.
|
2.
Bentuk
– bentuk konstruksional
a.
Gisik
Gisik
adalah timbunan puing batuan di atas sepanjang daerah yang terpotong gelombang
yang sifatnya hanya sementara. Mungkin sekali gisik itu merupakan kesatuan yang sangat panjang, tidak
terputus-putus hingga mencapai ratusan km, tetapi ada pula yang hanya beberapa
ratus meter dan merupakan kesatuan yang pendek-pendek, apalagi gisik yang terjadi pada daerah-daerah
teluk. Hal ini disebabkan oleh adanya kekuatan gelombang yang terpusat pada
semenanjung, hingga semenanjung merupakan pusat pengikisan. Oleh karena itulah
semenanjung pada umumnya diakhiri oleh suatu cliff. Sebaliknya dengan tenaga gelombang itu di teluk-teluk hasil
pengikisan disebarkan sebgai gisik. Gisik sifatnya yang sementara, karena
sewaktu-waktu akan tersapu gelombang pada waktu air pasang, namun pada pantai
yang bergeser ke arah laut sifat gisik
lebih mantap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Perubahan kekuatan gelombang pada teluk dan semenanjung (Suprapto,
1997)
|
Bahan
pembentuk gisik dapat berasal dari
laut ataupun dari darat. Mungkin sebagian berasal dari darat dan sebagian dari
laut. Pembentuk gisik yang terpenting
adalah gelomabng yang bergerak maju searah dengan tujuan gelombang tanpa
diimbangi dengan gerakan mundur (solitary wave) dan oscilatory waves merupakan
gelombang yang bergerak membentuk lingkaran, bergerak maju pada puncak, naik di
bagian depan mundur pada bagian lembah dan turun di bagian belakang gelombang,
yang membantu dalam menyediakan bahan.
b.
Bar
Bar adalah gosong pasir dan
kerikil yang terletak pada dasar laut yang terjadi oleh pekerjaan arus dan
gelombang. Kadang kadang gosong muncul di atas permukaan laut dan kadang-kadang
terendam seluruhnya oleh air laut. Bar ada beberapa macam yaitu meliputi: spit, nehrung, mid bay bar, bay mouth bar,
looped bar, tombolo, dan cuspate spit
serta ofshore bar yang terpisah sama
sekali dari daratan. Ilustrasi dari masing-masing dapat dilihat pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 bentukan
hasil pengendapan marine (Suprapto, 1997)
|
c.
Spit
Spit
merupakan hasil pengendapan longshore
current melalui semenanjung sambil mempertahankan arahnya yang lurus. Jadi
arus tidak membelok mengikuti belokan
pantai ke dalam teluk. Arus pasang tidak berpengaruh terhadap pembentukan spit dan bar, karena spit dan bar
arahnya berlawanan dengan arus pasang. Sementara itu, di daerah yang tidak ada
arus pasang sering tumbuh spit dan bar. Ada yang berpendapat bahwa
pembentukan spit dan bar itu ada kaitannya dengan arus
sepanjang pantai (longshore current) dimana arus ini hanya menyediakan
bahan-bahan saja untuk pembentukan spit
dan bar dilakukan oleh gelombang
badai yang datang miring terhadap arah pantai (Lewis, 1932 dalam Suprapto 1997)
lihat gambar 2.9.
d.
Tombolo
Tombolo ialah bar yang menghubungkan sebuah pulau dengan
daratan utama. Tombolo itu ada yang single,
double, triple, dan ada pula yang berbentuk huruf “V”, yaitu apabila pulau
dihubungkan dengan daratan oleh dua bar. Complex tombolo terbentuk bila beberapa pulau
dipersatukan dengan yang lain dan dengan daratan oleh sederetan bars lihat
gambar 2.9.
e.
Rataan
Pasang surut
Menurut
Dessaunnettes (1997) rataan pasang surut merupakan suatu daerah berlumpur yang tertutup atau tidak tertutup
oleh timbul tenggelamnya pasang. Menurut tipe vegetasinya maka rataan pasang
surut sama dengan rawa pasang surut dan marse
pasang surut (tidal marshes). Menurut
Summerfield (1991) rataan pasang surut merupakan bentuk–bentuk deposional yang
luas tersusun dari sedimen berlumpur dan khas terbentuk di lagoon dan estuari
pasang surut.
Sedimen
lempung dan debu halus yang terbawa ke pantai oleh sungai cenderung untuk
berkumpul membentuk kumpulan yang lebih besar ketika bertemu dengan air asin.
Partikel–partikel itu cenderung akan tinggal di pantai yang airnya cukup seperti
lagoon dan estuary yang terlindung. Lumpur ini dibawah termasuk oleh pasang
yang dating dan diendapkan sebelum membalik (surut kembali). Apabila
pertumbuhan vertikal terus berlanjut, bagian dari rataan pasang surut surut
akan terbuka di atas pasang tinggi yang normal. Lumpur akan ditempati oleh
tanaman halopita (tahan terhadap air asin) dan berkembang marse garam atau dalam kasus di daerah tropik umumnya ditumbuhi
mangrove. Sistem perakaran dari tanaman halopita dan mangrove akan mempercepat
laju pengendapan sedimen.
f.
Tidal inlet dan tidal delta
Kebanyakan off
shore bars (spit) tidak mempunyai sifat yang bersambungan, tetapi diantarai
atau diselingi oleh terusan-terusan yang dikenal sebagai “tidal inlets”. Tidal inlets
ini merupakan pintu-pintu tempat keluar dan masuknya air laut antara laut bebas
dengan lagoon sesuai dengan gerak
pasang surut. Jumlah dan tempat inlets
atau teluk-teluk dapat memberi hubungan langsung dengan longshore currents karena arus ini adalah tetap membawa muatan
material untuk membangun bars.
Dalam perkembangan lanjut,
jumlah dari inlets atau teluk-teluk lambat laun bertambah jauh dari lokasi
sumber di mana arus memperoleh muatan material. Tidak hanya gelombang-gelombang
yang kurang keras untuk memberi arus itu dengan muatan material yang berasal
dari runtuhan, tetapi bar itu sendiri
yang lebih kecil dan lebih mudah dilalui oleh gelombang dan air pasang. Pada
kebanyakan teluk, lagoon lebih mudah
ditumbuhi rumput-rumput rawa. Kondisi ini terjadi karena keadaan yang sesuai
dengan kadar garam yang tetap dipertahankan oleh adanya hubungan langsung
dengan lautan. Lagoon-lagoon yang besar dan terpisah dari lautan, airnya tidak
dapat ditumbuhi oleh tumbuhan marin.
Tidal deltas. Arus pasang-surut yang keluar masuk
pada tidal inlets membawa pasir masuk
ke dalam lagoon dan juga pasir ke luar laut. Arus yang masuk itu kemudian
mengendapkan material muatannya ke dalam lagoon di mulut inlets dan membentuk delta; dan disebut “tidal delta”. Hampir semua bars
menahan sebuah deretan delta yang terbentuk pada sisi dari lagoon. Bahan-bahan
yang tererosi oleh gelombang laut akan diangkut dan diendapkan pada dua bagian
kawasan. Sebagian diendapkan ke arah darat (coastal)
ketika terjadi swash; dan sebagian
lainnya lagi diangkut oleh arus balikan yaitu backwash untuk selanjutnya diteruskan oleh arus kompensasi untuk di endapkan ke bagian dasar yang lebih dalam.
Lihat Gambar 2.10.
angin badai
|
dalam butiran air ada butiran-butiran pasir
|
Transfer material dari ombak
ke angin
|
laut
|
beach
|
tanggul pantai
|
Arus kompensasi
|
Kecenderungan muka air lebih tinggi daripada
rata-rata muka laut karena akumulasi akibat badai
|
Sedimentasi
|
Permukaan merendah oleh kikisan angin dan pemadatan
Gambar 2.10. Gelombang
badai yang menggelora di pantai berpasir (beach) mampu mengangkut dan melemparkan butiran-butiran pasir/
kerikil dalam setiap tetes airnya ke tempat yang lebih tinggi daripada permukaan
air laut; dan membentuk timbunan endapan sebagai tanggul-tanggul
pantai.Tumpukan air dari pemindahan massa molekul air dan energi oleh
gelombang ke arah pantai menghasilkan permukaan air yang lebih tinggi dan
menimbul-kan arus kompensasi sebagai usaha keseimbangan air yang tak pernah
tercapai selama badai dengan adanya gelombang. Arus kompensasi ini
mengan-tar material untuk diendapkan ke tempat yang lebih dalam
(sedimentasi). (Hallaf, 2006).
g.
Delta
Delta adalah tonjolan meluas keluar dari garis pantai terbentuk dimana
sungai masuk kedalam lautan, sebagian menutupi laut, lagoon yang terlindung
penghalang atau danau dan pasokan sedimen lebih cepat dari yang dapat disebarkan
kembali oleh proses–proses pantai (Summerfield, 1991). Ciri utama delta sebagai
pembeda dari bentuklahan lainnya, delta mempunyai struktur pelapisan batuan
yang biasa disebut sebagai topes beds,
forest beds, dan bottomset beds. Topes beds terjadi dari debu serta pasir
dan kerikil dengan perlapisan miring sekitar 10o -25o. Bottomset beds terjadi dari sedimen halus dengan perlapisan landai (Sunarto,
1991 dalam Suprapto, 1997)
Gambar.
2.11 The Cimanuk delta, Indonesia,
showing the extent of growth following river diversion in 1947. A former
delta at the mouth of the abandoned Cimanuk course has been removed by
erosion, and a new delta built by sedimentation from the diverted outlet,
which branched into three distributaries. Two phases of delta growth are
show (Eric, 2008)
|
h.
Gumuk
pantai
Gumuk pantai ialah bentukan topografi yang terjadi dari pasir yang
diendapkan oleh tiupan angin (Sunarto, 1991 dalam Suprapto 1997). Adapun faktor–faktor
yang mempengaruhi terbentukya gumuk pantai ialah pasokan pasir, kecepatan angin
dan kerapatan vegetasi. Sedangkan menurut Summerfield (1991) variabel kunci
yang menentukan apakah gumuk akan berkembang ialah laju perpindahan pasir dari
gisik, variabel penting lainnya yaitu efek vegetasi dan sifat mintakat pantai
bagian belakang (backshore).
i.
Karang
Karang ialah igir bawah laut air dangkal yang berbatu–batu (Summerfield,
1991). Menurut Desaunnettes dalam Suprapto, 1997 batasan karang sebagai sebuah
rangkaian atau igir batuan yang teletak pada atau dekat permukaan terutama
adalah batuan karang. Meskipun karang dapat tersusun dari batuan anorganik.
Namun yang paling umum bentuk–bentuk biogenik, sebagian besar tersusun dari
batu karang bersama dengan sisa–sisa berbagai macam organisme–organisme
penghasil karbonat lainnya. Coral reef
terutama tumbuh di daerah tropis. Temperatur rata – rata tahunan air laut
minimum 18o C dengan variasi temperatur optimum antara 25o dan
29o C. kedalaman kurang dari 25 meter.
KERANGKA PIKIR
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yaitu basic research yang bertujuan untuk
memperluas/memperdalam teori dan
memperoleh data empiris yang dapat digunakan untuk memformulasi teori. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif dengan menggunakan pendekatan survei dan
interpretasi data geospasial untuk menemukan dan mendeskripsikan morfologi
Pantai Rewata’a.
B.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dimaksud adalah
wilayah penelitian yang menjadi obyek penelitian. Penelitian ini dilaksanakan
di Pantai Rewata’a di Desa Lalampanua Kecamatan Pamboang Kabupaten Majene tepatnya
pada koordinat 3o28’19’’
LS - 3o29’ 17” LS dan 118o52’19”
BT – 118o 53’46” BT (gambar 3.1).
C.
Material Pendukung
1.
Citra DEM ASTER
2.
Peta Geologi
skala 1 : 250.000
3.
Peta lereng skala
1: 300.000
4.
Peta Penggunaan
Lahan 1: 300.000
5.
Global
Positioning System (GPS); untuk
menentukan posisi gejalah bentuklahan
6.
Klinometer; alat
untuk mengukur kemiringan lereng
7.
Kompas geologi;
untuk mengukur kemiringan (dip) dan
jurus (strike) pelapisan batuan
8.
Roll meter;
untuk mengukur jarak antar titik di lapangan.
9.
Kompas bidik;
menentukan arah
10.
Palu geologi untuk
mengambil sampel batuan
11.
Buku catatan
penelitian
12.
Perangkat keras (CPU, komputer, printer, monitor)
13.
Perangkat Lunak
(Map info, Global Mapper, Google Earth, Er Mapper, Arc GIS)
14.
Kamera; untuk
merekam objek pengamatan
15.
Peralatan
lapangan lainnya yang dibutuhkan
D.
Data
penelitian
Data yang
diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengukuran lapangan. Data sekunder diperoleh dari pengumpulan
literatur, penelitian
terdahulu dan pengumpulan bahan yang dapat memberikan informasi mengenai data
yang akan dianalisis.
1.
Data primer yang
diperlukan adalah sebagai berikut :
a.
Data Morfogenesis,
data ini berupa hasil pengukuran, pengamatan dan hasil
analisis tentang proses/asal - usul terbentuknya suatu bentukan lahan di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar